FOLDERINDONESIA.COM – Gelombang aksi destruktif yang meledak di berbagai kota belakangan ini adalah wujud spontanitas atas realitas yang nir-empati dan kanal demokrasi yang tersumbat. Aksi pembakaran gedung legislatif, eksekutif, dan bahkan fasilitas peradilan, serta penjarahan yang dilakukan terhadap rumah pribadi anggota dewan, harus dibaca sebagai akumulasi kekecewaan publik yang kian dalam.
Akar persoalannya jelas: wakil rakyat yang tidak mampu lagi menjadi penyambung aspirasi masyarakat, ditambah kebijakan pemerintah pusat secara berturut-turut yang dianggap justru menyengsarakan rakyat. Dalam kondisi ekonomi yang tertekan, lapangan kerja yang sulit, serta kebijakan kenaikan gaji dan tunjangan DPR yang tidak sensitif terhadap penderitaan publik, kepercayaan rakyat runtuh. Massa kemudian melampiaskan amarahnya secara destruktif karena merasa jalur aspirasi politik formal telah buntu.
Sayangnya, respons negara melalui aparat keamanan justru memperkeruh keadaan. Represifitas aparat – dengan kekerasan fisik, penangkapan, dan tindakan keras lainnya – tidak meredam kemarahan, tetapi justru menambah bahan bakar pada api ketidakpuasan. Dalam situasi penuh tekanan, massa yang awalnya datang dengan tuntutan substantif akhirnya nekat melakukan tindakan-tindakan anarkis: membakar gedung pemerintahan, menyerang kantor legislatif, bahkan menjarah kediaman anggota dewan.
Fenomena ini memperlihatkan lingkaran setan demokrasi: rakyat yang frustrasi menjadi destruktif, aparat menjadi represif, sementara wakil rakyat terus kehilangan kepercayaan. Bila siklus ini tidak segera diputus, yang terjadi bukan hanya kerusakan fisik gedung dan fasilitas publik, tetapi juga keruntuhan kepercayaan total terhadap lembaga negara.
______________
Solusi Jangka Pendek
Untuk memutus lingkaran destruktif–represif ini, langkah-langkah jangka pendek perlu segera dilakukan:
1. Hentikan kekerasan aparat dalam merespons aksi massa. Pendekatan dialog, persuasif, dan pengamanan yang humanis lebih efektif meredam ketegangan dibandingkan represifitas yang memicu kemarahan.
2. Buka ruang komunikasi darurat antara pemerintah, DPR, dan perwakilan massa aksi. Aspirasi awal massa – terutama terkait kebijakan ekonomi dan transparansi DPR – harus segera diakomodasi dalam forum resmi.
3. Berikan jaminan keadilan terhadap korban, seperti kasus penabrakan Affann Kurniawan. Transparansi proses hukum menjadi syarat mutlak untuk mengembalikan sedikit kepercayaan publik.
4. Tunda atau batalkan kebijakan yang menambah penderitaan rakyat di tengah situasi ekonomi sulit. Respons cepat pemerintah akan menjadi sinyal positif bahwa suara rakyat benar-benar didengar.
______________
Harapan ke Depan
Aksi massa sekeras apa pun pada dasarnya lahir dari tuntutan substantif: rakyat ingin DPR yang bekerja, kebijakan yang berpihak, dan pemerintah yang sensitif terhadap penderitaan masyarakat. Namun, tuntutan ini berisiko hilang arah bila massa terjebak pada provokasi pihak-pihak tertentu yang sengaja mendorong perilaku destruktif, termasuk penjarahan.
Oleh karena itu, generasi muda serta elemen masyarakat sipil perlu menjaga agar substansi tuntutan tetap murni. Fokus harus diarahkan pada isu pokok – krisis representasi di parlemen, kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, serta lemahnya transparansi – bukan pada aksi merusak fasilitas atau mengincar rumah pribadi pejabat.
Harapannya, pemerintah pusat dan DPR mau membuka diri pada perubahan. Demokrasi tidak bisa hanya menjadi panggung elit, sementara rakyat dibiarkan menanggung beban. Jika komunikasi dibangun dengan tulus, solusi konkret ditawarkan, dan kesalahan aparat diakui serta diperbaiki, maka energi rakyat yang besar ini bisa diarahkan pada gerakan konstruktif, bukan destruktif.
______________
Penutup
Kita sedang berada pada titik kritis. Rakyat mulai kehilangan harapan pada wakilnya, aparat kehilangan kepercayaan publik, dan negara terancam kehilangan legitimasi. Jalan keluarnya hanya satu: kembalikan demokrasi kepada rakyat, dengarkan tuntutan mereka, dan hentikan siklus represif-destruktif ini. Bila tidak, kita hanya tinggal menunggu ledakan yang lebih besar – dan saat itu, mungkin sudah terlambat untuk membangun kembali kepercayaan yang hancur.
Oleh : Amul Hikmah Budiman
(Direktur Eksekutif Saoraja Institute Indonesia)