MAKASSAR, FOLDERINDONESIA.COM – Perhelatan pilkada kota Makassar tahun 2024 sudah memasuki babak awalnya, beberapa partai politik telah membuka pendaftaran bakal calon walikota/wakil walikota, pula beberapa tokoh/figur mulai memunculkan dirinya dalam alat peraga di beberapa titik-titik jalan strategis maupun di sosial media.
Meskipun hingga hari ini, beberapa figur potensial dengan elektoral yang cukup baik masih ragu-ragu untuk mendeklarasikan dirinya secara langsung, Direktur Eksekutif Saoraja Institute Indonesia (SII), Amul Hikmah Budiman dalam pers rilisnya (05/05/2024) menganggap bahwa para figur tersebut sepertinya masih mengkalkulasi secara matang dan mendalam untuk benar-benar bertarung di Pilwali Makassar.
“Beberapa nama figur potensial, seperti Munafri Arifuddin (appi), Syamsu Rizal (Deng Ical), Fatmawati Rusdi, Rahmatika Dewi (Cicu’), dan Rudiyanto Lallo posisinya hari ini sebagai caleg terpilih, sehingga untuk turut sebagai kontestan, harus mengundurkan diri, sementara cost politic untuk pilcaleg kemarin lumayan bombastis. Sehingga perlu kalkulasi politik yang matang, baik secara finansial, strategic, dan jaringan elektoral agar proses perjuangan politik yang dilalui tidak bersifat non-finito atau sia-sia belaka” ungkap Alumni Nepal Leadership Academy ini.
Lebih lanjut, Amul mengungkapkan bahwa figur-figur yang mulai bermunculan saat ini di Makassar, tidak hanya harus memiliki cost politic yang besar, pula jaringan, electoral mapping, serta mental dan etik tim yang kuat.
” Makassar ini urban dan heterogen, selalu mengejutkan dalam setiap kontestasi politiknya, bahkan di Pileg baru-baru ini, dari 50 caleg terpilih, 24 diantaranya wajah baru dan segar, menumbangkan petahana. Jadi, tidak hanya soal finansial yang besar, akan tetapi butuh kerja-kerja politik yang memiliki etik dan moral value yang tinggi, terutama tim atau relawan yang direkrut” lanjut Alumni Pascasarjana Unhas ini.
Pileg 2024 kemarin bisa kita dikatakan begitu “barbar”, bahkan orang Bugis-Makassar menyebutnya banyak oknum “pakappala tallang” atau makna konotatifnya dalam politik bisa diartikan sebagai penipu atau pembual. Sehingga, harus benar-benar melakukan validasi politik yang baik.
Amul juga mengingatkan bahwa figur yang merasa dirinya memiliki jaringan struktural maupun kultural politik yang sudah kuat, tidak boleh over confident, tetap harus memiliki jiwa servant leader dan massif turun ke lapangan.
“Obstruksi politik atau rintangan dalam dinamika politik yang ada di Makasar sukar ditebak, bahkan dalam tahapan telah menjadi kontestan pun, bisa-bisa kandidat tereleminasi, dan itu pernah terjadi, dinamikanya sangat penuh kejutan” ungkapnya.
Amul pun mengungkap data Saoraja Institute Indonesia (SII) bahwa masyarakat Kota Makassar mayoritas menginginkan figur yang segar, baru, dan tidak memiliki dosa politik masa lalu, presentasenya berada di angka 54,7 persen.
“Kalaupun hari ini ada nama-nama lama yang kembali mau ikut berkontestasi, ataupun memiliki irisan yang kuat dengan petahana atau figur kontestan sebelumnya, mereka harus tetap menggandeng figur baru sebagai cawawalinya yang bisa menjadi vote getter yang baik. Apalagi pilkada Makassar hari ini, belum ada parpol yang bisa menembus batas minimum kursi usungan sebanyak 10 kursi, semuanya harus berkoalisi untuk memenuhi syarat tersebut” tutupnya.